Semakin terpolarisasi
masing-masing kutub yang semakin hari semakin jelas kemana arah keberpihakan.
Semakin terarahkan dan sudah tak samar lagi mana hitam dan mana putih. Anehnya,
ada yang muslim tapi keberpihakan bukan di kutub muslim, atau sebaliknya.
Seperti yang dilakukan putra mahkota Saudi yang mendukung Cina untuk membangun
kamp konsentrasi di Uighur. Muhammad bin Salaman mengatakan bahwa tindakan CIna
itu dapat dibenarkan. Parahnya lagi dia mengatakan ketika telah berada di China
untuk menandatangani banyak kesepakatan dagang pada jum’at (22/02/2019)
bahwasannya tindakan cina itu adalah pekerjaan anti-terorisme dan ekstremisme
untuk keamanan nasionalnya. Ataupun tentang Presiden Turki yang menjalin
hubungan diplomatik dan ekonomi yang lebih dekat dengan Beijing pasca
pernyataannya yang mengecam China telah melakukan genosida. Tidak hanya itu,
perdana menteri Pakistan, Imran Khan, yang baru saja dikunjungi oleh Pangeran Salman mengatakan dia “tidak tahu” banyak tentang kondisi kaum
Uighur.
Negara Saudi, Turki, dan Pakistan
adalah negara yang banyak kaum muslim berharap kepadanya. Mereka adalah negara
yang memiliki pertahanan negara yang kuat dan disegani negara lain. Alangkah
sayangnya kekuatan yang mereka miliki tidak digunakan untuk menyelamatkan umat
islam yang sedang dibantai. Bukan hanya Uighur, kasus Palestina pun tak ada
habisnya. Belum lagi dengan Rohingya, Suriah, Kashmir, dan masih banyak lagi kasus
pembantaian umat islam di belahan bumi lainnya.
Kenapa ini bisa terjadi? Begitu
butanya mata hati mereka. Sibuk memperkuat kerjasama demi kepentingan kekuasaan
hingga rela melupakan saudaranya yang memerlukan pertolongan. Rela tunduk di hadapan
negara yang menumpahkan darah saudaranya. Patuh terhadap peraturan PBB di mana
negara lain tidak boleh ikut campur dengan negara lainnya. Akan tetapi aturan
itu rupanya berat sebelah, hanya berlaku pada sebagian dan tidak berlaku pada
pemilik kekuasaan.
Benar tercekik dengan kondisi
saat ini. Sekat-sekat nasionalisme yang seakan harum di telinga padahal itu
hanyalah sebuah alat para kaum kapitalis untuk terus mempertahankan paham
kapitalisnya dan tidak rela terganti oleh sistem manapun. Berkuasa adalah
cita-citanya. Sehingga ketika sudah didapat kekuasaan tersebut akan terus haus
dan ingin terus mempertahankan meski harus menggadaikan akidah. Kecaman-kecaman
yang hanya terucap lewat mulut sebagai bentuk formalitas pembelaan umat muslim
yang dibantai, tak ada aksi konkrit dalam memberantas masalah hingga ke
akarnya. Hanya sebatas mengobati tanpa memperdulikan sebab sakitnya.
Gelontoran utang atau ‘bantuan’
yang jor-joran diberikan pemerintah Cina jelas telah menjadi jebakan jitu yang
membelit kepemimpinan rezim demokrasi kapitalis neoliberal di berbagai negeri
Muslim. Mereka seakan terbelenggu untuk bergerak melakukan berbagai kewajiban
terhadap saudara seagama. Dan di luar itu, deal-deal politik tingkat tinggi
yang terus dilakukan pun telah berhasil mencegah mulut, tangan dan kaki mereka
untuk melakukan apa yang sepatutnya dilakukan.
Bahkan kehinaan demi kehinaan
dengan telanjang ditunjukkan oleh para pemimpin Muslim di berbagai negeri
Islam. Yang hanya demi secuil bantuan dan legalitas kekuasaan, mereka rela
menggadaikan harga diri dan kedaulatan. Tak peduli bahwa kelak kepemimpinan
mereka dan tumpulnya kekuasaan mereka dalam melawan kezaliman akan ditanya.
Sungguh, dari kasus Uyghur ini
kita banyak belajar. Bahwa kepemimpinan sekuler demokrasi neoliberal telah
mencampakkan persaudaraan karena iman. Dan bahwa paham nasionalisme serta
konsep negara bangsa telah memutilasi tubuh umat ini hingga kehilangan rasa
persaudaraan hakiki di bawah akidah Islam.
Maka, satu-satunya solusi adalah
mengganti sistem dari akarnya. Kapitalisme sudah jelas bahwa ia adalah sistem
yang lahir dari paham sekuler. Seakan-akan tuhan hanya pembuat jam, selagi
jarum jam masih berdetik tak perlu ada campur tangan pencipta. Manusia yang begitu
percaya diri membuat aturan seperangkat kehidupan, bahkan membaca satu detik
yang akan terjadi kedepan pun ia tak mampu. Pada akhirnya para pembuat aturan
itu pun pasti melibatkan ego dan nafsu. Sehingga timbulah banyaknya aturan yang
berat sebelah. Kapitalisme juga sebuah sistem yang terpaku pada banyaknya
materi, entah itu jabatan atau perusahaan dimana perdagangan, industri dan
alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh
keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal dalam melakukan usahanya berusaha
untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kasarnya, yang kaya akan semakin kaya
yang miskin akan tetap pada kemiskinannya.
Tidak heran jika banyak
negara-negara bahkan negara yang dipimpin oleh seorang muslim tunduk dan patuh
terhadap negara pemilik modal.karena tujuan dalam berkuasa pun sebatas
memperoleh keuntungan.
Kita butuh penguasa Muslim yg
tegas dan tidak berkhianat kepada umat
Islam. Penguasa yg menjadikan persaudaraan Islam yg mengharuskan dia bergerak
saat ada umat Islam di belahan lainnya
yang dibantai. Tentu penguasa seperti ini akan ada jika negara yang yg
dipimpinnya pun mengambil Islam sebagai asas dalam setiap kebijakan dalam
maupun luar negerinya.
Kepemimpinan islam adalah
kepemimpinan yang satu, maka tak akan ada sekat untuk saling tolong menolong,
bahu membahu. Layaknya Khalifah Mu’tasimbillah yang memenuhi seruan wanita di
Romawi karena disingkap auratnya oleh seorang lelaki yang berpenyakit hatinya.
Al-Mu'tasim segera mengerahkan 30.000 pasukan yang pada saat itu kepala pasukan
sudah di romawi buntut dari pasukan masih di Baghdad.
Kisah tersebut adalah satu dari
banyaknya kisah bagaimana pemimpin islam sangat tegas dalam pembelaan umat
islam. Pemimpin-pemimpin seperti itu tidak akan pernah lahir dalam sistem
kapitalisme saat ini. Sudah saatnya islam diterapkan secara menyeluruh. Maka
dari itu, perjuangkanlah agar kaum Muslimin tidak lagi menderita dan
pembantaian terulang lagi.Ketika islam diterapkan, tidak ada lagi
pemimpin-pemimpin tamak, karena pemilihan pemimpin dalam islam berdasarkan
pemilaian masyarakat dan diharamkan memilih seseorang yang mengajukan diri
untuk menjadi pemimpin. Kriteria menjadi seorang pemimpin dalam islam pun
sangat diperhatikan dari mulai aspek pemahaman agama hingga bagaimana ia mampu
bersifat adil. Kepemimpinan islam adalah kepemimpinan yang satu, maka tak akan
ada sekat untuk saling tolong menolong, bahu membahu. Layaknya khalifah
mu’tasimbillah yang memenuhi seruan wanita di romawi karena disingkap auratnya
oleh seorang lelaki yang berpenyakit hatinya. Al-mu;tasim segera mengerahkan
30.000 pasukan yang pada saat itu kepala pasukan sudah di romawi buntut dari
pasukan masih di Baghdad.
Kisah tersebut adalah satu dari
banyaknya kisah bagaimana pemimpin islam sangat tegas dalam pembelaan umat
islam. Pemimpin-pemimpin seperti itu tidak akan pernah lahir di sistem
kapitalisme saat ini. Sudah saatnya islam diterapkan secara menyeluruh. Maka dari
itu, perjuangkanlah demi kesejahteraan seluruh alam.
Komentar
Posting Komentar