Bulan Juli ini kita dikejutkan dengan sebuah berita
yang sebenarnya sudah dari lama hal itu ada. Yaitu tentang kemewahan lapas bagi
para koruptor juga narapidana lainnya. Fasilitas-fasilitas mewah ditemukan di
kamar lapas. Dilansir dari Liputan6 Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengaku
kecewa terkait adanya fasilitas mewah di dalam Lapas yang mayoritas berisi
narapidana korupsi tersebut. Padahal, kata Saut, KPK telah bersusah payah untuk
membuktikan perbuatan para terpidana korupsi hingga akhirnya divonis bersalah
oleh pengadilan. Peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
(ICW) Almas Sjafrina menilai, pemerintah harus segera membenahi sistem lembaga
pemasyarakatan (lapas), terutama lapas kasus korupsi."Bagaimana koruptor
bisa jera dan tidak mengulangi perbuatannya kalau fasilitas yang mereka peroleh
di lapas masih dalam tanda kutip istimewa dibandingkan napi lain?" kata
Almas di Jakarta, Minggu (29/7/2018). Menurut Almas, terbongkarnya kasus
fasilitas mewah lapas para napi bukan kali ini terjadi. Tahun 2010, fasilitas
mewah juga pernah ditemukan di sel terpidana narkoba Artalyta Suryani atau Ayin
di Rutan Kelas II A Pondok Bambu, Jakarta Timur. Selain Ayin, fasilitas mewah
lapas juga dinikmati oleh terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan. Tahun
2010, Gayus ketahuan sering keluar lapas Mako Brimob Depok dengan menyuap
sejumlah petugas. Tak hanya ke luar kota, Gayus bahkan sempat bepergian ke luar
negeri dengan menggunakan paspor palsu atas nama Sony Laksono. Belum lagi
tentang Gibran Rakabuming anak dari Presiden Jokowi yang dengan serunya masak
martabak di markobar.
Ketidaktegasan dari para penjaga yang dengan mudah
disogok untuk keberlangsungan hukuman membuat ketidakjeraan bagi para koruptor
juga narapidana lainnya. Sebelumnya, KPK telah mengungkap modus 'jual-beli'
fasilitas di dalam Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Dimana, Kalapas
Sukamiskin, Wahid Husen, diduga mematok harga mulai Rp200 hingga Rp500 juta
untuk para narapidana mendapatkan fasilitas istimewa di Lapas Sukamiskin. Kasus
sogok menyogok pun terjadi pada Fahmi Darmawangsa, menyuap Kalapas
Sukamiskin Wahid Husen untuk bisa mendapat sel tahanan yang nyaman dan
kemudahan untuk keluar masuk Lapas Sukamiskin. Dari dugaan suap tersebut,
KPK mengamankan uang Rp 20.505.000, USD 1.410, catatan-catatan penerimaan
uang dan dokumen terkait pembelian dan pengiriman mobil di kediaman Wahid.
"Sejauh ini informasi yang kami peroleh, tarif berkisar Rp 200-500 juta.
Jadi, jika sudah menempati ruangan lalu mau nambah apa lagi, ada (biaya) tambahan
lagi," ujar Saut dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan,
Sabtu, 21 Juli 2018. (sumber: okezone.com, kompas.com)
Ini bukan tentang pembenahan sistem lembaga
pemasyarakatan melainkan tentang pembenahan sistem yang ada di Indonesia. Hal
yang utopis untuk memberantas korupsi jika sistem yang digunakan masih sama.
Karena akar dari permasalahannya adalah penerapan sistem demokrasi yang
merupakan sistem politik berbiaya tinggi. Lahirnya demokrasi berawal dari
terciptanya sekulerisme yang dari sananya kapitalisme dimana uang adalah
segalanya. Hidup di sistem kapital ini memang dituntut untuk terus
berlomba-lomba menjadi pemilik modal. Tentang agama hanya sebatas ruhiyah dan
bukan sebagai point penting menjadi aspek penilaian. permasalahan mewahnya
lapas ini adalah bukti dari bobroknya sistem hukum di Indonesia. dan bukti
minusnya sistem hukum sebagai penjera dan penebus. Maka tidak heran bila semua
itu bisa terjadi karena sistem yang menuntut akan hal itu untuk terjadi.
Berbeda dengan islam, jika aturan islam ini benar-benar diberlakukan secara
menyeluruh dari aspek individu, masyarakat, hingga aspek bernegara maka bukan
hal yang tidak mungkin permasalahan korupsi ini terberantas. Karena hukum di
islam itu berlaku jawabir dan jawazir yaitu penebus dan penjera. Tidak hanya
menjerakan juga sebagai penebus dosa yang artinya di akhirat sudah tidak harus
di tebus lagi karena sudah di tebus di dunia dengan menggunakan sanksi dari
Allah. Tapi sayangnya fakta berkata lain. Islam diterapkan hanya sebagian dan
sebagaian lain hanya sebuah ulasan. Islam hanya sebagai ruhiah bukan pengatur
seluruh aspek. Padahal islam adah solusi dari semua permasalahan. Adapun ketika
menggunakan sanksi yang bukan dari Allah sebagai hukuman para pelaku kezhaliman
maka kezhaliman yang diperbuat tetap akan mendapat sanksi di akhirat.
Naudzubillah, wallahua’lam bishshsawwab.
Komentar
Posting Komentar