Indonesia diramaikan dengan demonstrasi beberapa minggu ini, dimulai sejak 6 Oktober 2020 oleh mahasiswa dan menyusul gelombang selanjutnya oleh para buruh, pelajar STM, dan kalangan masyarakat lainnya untuk melawan serta menunjukkan ketidaksetujuan atas pengesahan UU Omnibus Law. Pengesahan yang dilakukan secara terburu-buru dan mengendap-endap oleh DPR serta tidak adanya keberpihakan terhadap rakyat menimbulkan banyak tanya. Dilansir dari vivo.co.id bahwa total kurang lebih 6 ribu massa turun ke jalan. Namun terdapat respon miring berupa dugaan bahwa ada dalang dibalik demonstrasi. Diduga massa yang turun ke jalan telah disponsori oleh beberapa oknum (detikfinance.com).
Dugaan tersebut ternyata didukung kuat oleh beberapa pihak salah satunya oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian, beliau mengatakan, "Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind demo itu. Kita tahu siapa yang menggerakkan, kita tahu siapa sponsornya. Kita tahu siapa yang membiayainya,"(detikfinance.com). Mereka yang mendukung kuat dugaan tersebut terus melakukan pengkajian demi mendapatkan fakta-fakta pendukung.
Lain halnya dengan Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan mengeluarkan surat edaran melarang mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menolak Omnibus Law UU Ciptaker yang termuat dalam surat nomor 1035/E/KM/2020 sebagai respon.
Pelarangan tersebut jelas merupakan upaya pembungkaman yang dilakukan secara halus dan tajam. Terlontar pula soal ancaman nilai akademis yang akan turun bagi mahasiswa yang berdemo sehingga berdampak pada kehilangan kesempatan kerja di masa mendatang.
Padahal pada kenyataannya sudah jelas, banyak dari elemen masyarakat yang menolak pengesahan UU Omnibus Law. Akan tetapi para mahasiswa yang berusaha menyalurkan aspirasi dan keresahan rakyat, bukan didengar justru diberi dugaan yang rancu, juga larangan dan ancaman. Hal ini cukup memberi pengaruh terhadap keteguhan mahasiswa dalam menjaga keidealisannya.
Respon pemerintah seakan tak suka dengan aksi mahasiswa. Mereka mengeluarkan kecaman-kecaman yang justru membungkam aspirasi mereka dengan kebijakan UU ITE salah satunya. Indonesia disinyalir merupakan negara demokrasi tapi seolah mengkhianati demokrasi itu sendiri karena realitasnya justru mengerdilkan semangat mahasiswa dalam memberikan aspirasi dengan ancaman sulit dapat kerja, nilai akademik sampai kecaman UU ITE.
Demokrasi yang menjadi sistem pemerintahan Indonesia nyatanya telah gagal membangun kebebasan berpendapat. Demokrasi yang lahir bersamaan dengan sistem kapitalisme hanya berfokus kepada kepentingan masyarakat kelas atas saja. Mahasiswa yang merupakan golongan pemuda hanya dianggap sebelah mata. Mengerdilkan jiwa muda mereka demi membela kepentingan kelas atas. Padahal betapa pentingnya pemuda dalam membawa perubahan.
Setiap orang mengetahui bagaimana peran pemuda yang begitu diharapkan untuk membawa perubahan. Seperti yang dikatakan Soekarno, “Beri aku 10 pemuda maka akan aku goncang dunia”. Hanya saja slogan-slogan seperti itu tidak berlaku pada sistem demokrasi-kapitalisme.
Kapitalisme yang merupakan ideologi yang hanya menguntungkan kelas-kelas atas, dan segala yang tercipta darinya berasaskan manfaat bagi golongan mereka. Kalaupun mereka menggunakan pemuda, bisa dipastikan bukan untuk diharapkan membawa perubahan, tetapi manfaat apa yang bisa didapat untuk golongan mereka. Seperti, ketika para politisi mengadakan seminar/program “Peran Milenial dalam Ranah Politik dan Revolusi Industri 4.0”, apakah mereka merujuk pada milenial sebagai subjek yang merdeka dan mampu menentukan keputusannya sendiri? Tidak. Milenial di situ hanya merujuk pada milenial sebagai objek marketing politik yang tidak berdaya, hanya bisa digiring pilihan-pilihannya pada opsi yang telah mereka kerucutkan/siapkan sebelumnya.
Jiwa pemuda yang memiliki potensi besar hanya terkekang dalam sistem demokrasi-kapitalisme. Karena pada sistem ini pemegang kendali ada pada kaum pemilik modal saja. Sangat disayangkan potensi pemuda yang dibatasi dan dikerdilkan padahal begitu besarnya potensi mereka dalam mengambil peran untuk melakukan perubahan.
Sistem Islam Memfasilitasi Potensi Pemuda
Sistem kapitalisme yang sudah banyak melahirkan kecacatan dan menimbulkan berbagai permasalahan sejatinya patut diganti dengan sistem Islam. Berbeda dengan demokrasi ala kapitalisme, aturan Islam tidak mudah disusupi kepentingan korporasi sebab hukumnya jelas dari Allah rabbul izzati. Di dalam Islam pula, peran pemuda sangat disongsong tinggi seperti pada zaman kekhilafahan, rentang umur mereka yang menjadi pelakon perubahan adalah belasan hingga 20an tahun. Misalnya, yang paling ikonik, Muhammad Al-Fatih menaklukan konstantinopel diumurnya 21 tahun. Selain itu Islam sebagai agama rahmatan lil a’lamin memiliki substansi aturan-aturan yang tidak merusak masyarakat hingga lingkungan. Contohnya saja dalam pengelolaan sumber daya alam. Islam tidak mengenal fredom of ownership atau kebebasan memiliki seperti halnya dalam demokrasi. Ada batasan dalam eknomi Islam, harta diklasifikasikan menjadi tiga. Ada harta milik individu, milik ummat dan milik Negara. Jauh berbeda dengan demokrasi yang membebaskan segala aset sehingga dapat diprivatisasi.
Kestabilan politik akan berdampak positif dalam penanganan pandemi sebab tidak memicu aksi demonstrasi. Apalagi dalam Islam penangan pandemi sudah sejak dulu dilakoni. Rasulullah SAW bersabda “Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR Bukhari)
Carut marut yang terjadi hari ini semoga menjadi titik kesadaran bahwa sejatinya sistem demokrasi kapitalisme hanyalah sumber dari musibah karena memang sistemnya cacat. Sudah saatnya kembali pada sistem Islam buatan sang Khaliq.
Komentar
Posting Komentar