Tidak akan pernah bisa rasanya para
petani yang hidup di negeri agraris sebesar Indonesia untuk berharap menjadi si
kaya raya. Jangankan untuk mendapat keuntungan, untuk sekedar usaha tak rugi
pun sulit rasanya.
Kasus yang terus ada. belum
setahun kasus ini sempat viral, sekarang mesti di-blow up kembali. Kebijakan penguasa
selalu tidak ramah, atau mungkin tidak akan pernah ramah pada mereka para
petani. Momentum panen raya, pemerintah justru tega membuka keran impor. Pasalnya,
petani adalah satu dari sekian produsen lokal yang dirugikan.
Hingga Agustus ini, ada beberapa
impor yang dilakukan pemerintah. Seperti impor beras yang diberikan saat petani
sedang panen raya. Bahkan inpor sempat dipaksakan saat kapasitas Gudang Bulog
sudah berlebih. Kemudian impor gula yang
bahkan Indonesia merupakan importer terbesar di dunia. Belum lagi jagung, baja,
bawang putih, pupuk, dan produk semen asing yang padahal produksi semen
Indonesia masih surplus 35 juta ton per tahun.
Dengan saing harga yang compatible ini mengakibatkan harga hasil
produksi pangan di tingkat petani ataupun produsen lokal lainnya terjun bebas. Mereka
nyaris selalu rugi besar. Biaya produksi yang mereka keluarkan ternyata tidak
tertutupi oleh harga jual barang.
Presiden Joko Widodo sendiri
sebenarna mengetahui bila dampak dari derasnya impor ini membuat defisit neraca
perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1,93 milyar dollar AS per Juli
2019 dibandingkan capaian year on year 2018.
Belum lagi, sepanjang 2018 defisit neraca perdagangan tercatat menjadi yang
terdalam dengan nilai 8,70 miliat dollar AS selama periode pertama jokowi.
Bicara tentang presiden, memang di
masa pemerintahan ini impor semakin gila-gilaan. Program nawacita yang
digulirkan di awal periode pertama yang salah satunya mengatakan mengenai janji
mewujudkan kedaulatan pangan. Namun program tersebut nyatanya belum berhasil. Bahkan
yang ada impor pangan merupakan kebijakan andalan.
Banyak berdalih tentang
dilaksanakannya impor. Bukan soal penyimpanan bahan pangan di gudang Bulog yang
tersebar yang padahal itu bukan permasalahan utama. Ataupun kekalahan Indonesia
oleh Brasil di World Trade Organization (WTO) sehingga menambah daftar panjang
serbuan barang impor yang masuk ke dalam negeri. Ini tentang akar permasalahan
mengapa kasus ini kian terjadi dan sulit diberantas.
Jika dicermati, akar permasalahan
impor bukan disebabkan kelangkaan barang semata ataupun dalih-dalih lainnya. Ini
merupakan bukti kegagalan negara dalam mewujudkan daulat pangan dan pengelolaan
distribusi yang berhubungan dengan maraknya praktis spekulasi dan kartel
pangan, serta tingkat daya beli rakyat yang masih rendah.
Untuk memberantas permasalahan ini
memang harus menyelesaikan dari akar permasalahan yakni membangun secara serius
kedaulatan pangan, memerbaiki pengelolaan distribusi dengan menilik secara
rinci sehingga sulit ditemukan jalur hambatan menjadikan semua wilayah bisa
tercukupi kebutuhannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kemudian bagaimana
dalam meningkatkan level kesejahteraan
masyarakat terkhusus hak para petani lokal yang dilindungi untuk penentu
suksesnya proyek daulat pangan dari kejahatan para spekulan.
Sayang pada
kenyataannya upaya-upaya tersebut sulit direalisasikan karena negeri ini masih
digenggam erat oleh kapitalisme-neoliberal. Negara di bawah rezim seperti ini
memang tak diatur untuk menjadi pengurus dan pelindung rakyat. Negara hanya
berfungsi sebagai regulator. Sementara regulasi yang dibuat dipastikan hanya
akan menguntungkan para kapitalis yang bersimbiosis mutualisma dengan para
pemegang kekuasaan.
Tak heran pula jika dalam sistem ini,
kita lihat negara seringkali bertindak sebagai pedagang. Negara tak sungkan
mencari selisih harga saat bertransaksi dengan rakyat. Dan sebagai pedagang,
negara tak mau peduli jika kebijakannya menyengsarakan rakyat.
Kondisi ini tentu berbeda dengan
Islam. Dalam Islam negara diperintah oleh syariat untuk memfungsikan dirinya
sebagai pengurus dan pelindung. Salah satunya termanifestasi dalam bentuk
jaminan kesejahteraan bagi seluruh warga tanpa kecuali, baik jaminan pemenuhan
akan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), maupun jaminan pemenuhan
kebutuhan komunal seperti kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Sebagai din yang sempurna, Islam
memiliki berbagai aturan yang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Termasuk
mewujudkan kedaulatan pangan yang merupakan salah satu komponen terwujudnya
kesejahteraan rakyat tadi.
Adanya hukum-hukum tentang
kepemilikan, hukum-hukum tentang tanah (termasuk soal pengelolaan tanah mati
dan tanah produktif), hukum-hukum yang mencegah mandeknya distribusi (seperti
larangan ihtikar/praktek penimbunan dan monopoli, larangan menimbun
emas-perak/mata uang, larangan penipuan dan mendistorsi harga pasar),
hukum-hukum sanksi yang tegas atas tindak pelanggaran, serta ketatnya
aturan-aturan terkait perdagangan luar negeri, menunjukkan bahwa islam begitu
memperhatikan urusan kesejahteraan masyarakat, terkhusus urusan kedaulatan
pangan ini.
Jjika dicermati pula, begitu banyak
praktik Rasulullah Saw para Khalifah setelahnya sebagai kepala negara, yang
menunjukkan bagaimana keseriusan negara dalam sistem Islam memfungsikan dirinya
sebagai penjamin atas kebutuhan dasar rakyatnya sekaligus pelindung mereka dari
kebinasaan.
Hingga catatan sejarah peradaban
Islam dipenuhi kisah-kisah menakjubkan soal tingginya level kesejahteraan yang
tidak bisa diungguli oleh peradaban manapun, termasuk peradaban yang sekarang
dipaksakan mencengkeram manusia.
Oleh karenanya, sangat naif jika umat
ini mau tetap mempertahankan sistem kapitalis neoliberal yang sudah terbukti
negara bentukannya gagal total mewujudkan kesejahteraan, termasuk daulat
pangan. Selain berdosa, juga karena sistem ini sudah di ambang kehancuran.
Saatnya kita bertaubat dengan kembali ke pangkuan sistem Islam.
Sumber:
SNA. 2019.Kapitalis Neoliberal. Muslimahnews.com (Sabtu, 17
Agustus 2019 16.57).
Fabian Thomas, Vincent. 2019. Menteri Perdagangan “Ugal-Ugalan”
Dalam Impor. Tirtoid.com (Sabtu, 17 Agustus 2019 16.57)
Khory Alfarizi, Moh. Prima, Erwin. 2019. LIPI Bikin Implan
Titanium untuk Indonesia. Tempoco.com ((Sabtu, 17 Agustus 2019 16.57)
Komentar
Posting Komentar