Postitusi, bagaikan lumut
dalam lembab di tanah air kita ini. setiap tahunnya selalu ada berita mengenai
hal tersebut entah sebagai pemanis problematika, atau memang benar-benar
sebagai kasus yang ingin diselesaikan. Baru-baru ini, berita tentang artis
ibukota berinisial VA yang juga terjerat kasus prostitusi ini sedang hangat
dibicarakan. Bahkan, ubdit Siber Ditreskrimsus
Polda Jawa Timur mengungkap kasus prosititusi online ini melibatkan
dua artis ibukota di Surabaya, terdiri dari artis berinisial VA dan foto model
berinisial AS, Sabtu (5/1).
Pada
awalnya, kasus seperti ini adalah sesuatu yang tabu di kalangan masyarakat.
Akan tetapi semakin berjalannya waktu kasus semacam itu tidak lagi asing di
tanah air kita ini. pelaksanaan pemberantasan kasus inipun tidak benar-benar
serius dalam upaya menyelesaikannya. Sehingga, membuat masyarakat merasa
terbiasa dan tak lagi merasa tabu dengan itu. Entah karena memang terlalu
pemaafnya hukum di Indonesia ini, atau memang ada beberapa pihak yang merasa
teruntungkan dengan adanya prostitusi sehingga dibiarkan subur selama masih ada
yang menikmati sekalipun itu memunculkan rusaknya moral secara massiv. Kalaupun
kasus-kasus seperti ini dihukumi, akan tetapi tidak memberikan efek jera
terhadap pelaku sehingga terus beredarnya persoalan-persoalan ini dan tidak
heran jika terus menjamur.
Sudah
tak tahu kemana moral di Negeri tercinta ini. Apapun hal yang dilakukan, selagi
menguntungkan dan menghasilkan materi, tetap akan dilakukan. Walaupun hal
tersebut benar-benar akan merusak moral dan integritas rakyat Indonesia.
Kapitalisme semakin berkuasa, semakin tampak jelas, dan sudah tak lagi samar
penerapannya. Materi terus dicari bahkan rela menjual diri. Kemudian lahir dari
kapitalisme itu sistem demokrasi yang kita anut selama ini.
Susah untuk kita bergantung pada demokrasi
untuk memberantas kasus-kasus seperti ini yang bisa mengundang marahnya Allah
di muka bumi. Ia menganut paham kebebasan dimana setiap orang memiliki Hak
Asasi Manusia. Maka jelas, mengapa kasus-kasus seperti ini tidak pernah
selesai, dan mau sampai kapan? Selagi demokrasi masih menjadi tumpuan maka
persoalan semacam ini tak akan pernah terberantas secara total. kebebasan
berperilaku katanya. Itu adalah satu dari 4 kebebasan yang dianut oleh
demokrasi. Setiap orang memiliki hak untuk melakukan segala hal tanpa di atur
oleh orang lain selagi masih dalam hukum Negara yang berlaku. Akan tetapi,
hukum Negara pun masih bisa kendor dengan adanya banding dan permasalahan pun bisa
tidak jadi untuk digugat.
Lagi-lagi
jangan heran jika kemaksiatan-kemaksiatan semakin menjamur di negeri tercinta
ini. Hukum yang berlaku sangat “elastis” juga tidak memberikan efek jera.
Padahal, di dalam islam hukum adalah sesuatu yang bukan main-main dan amat
sangat tegas yang menyebabkan memberikan efek jera bagi pelaku. Selain efek
jera yang membuat tidak terlaksananya lagi berbagai kemaksiatan, juga sebagai
penghapus dosa. Jadi, di akhirat kelak pelaku maksiat tidak lagi diberi hukum
atas perbuatan maksiatnya karena sudah dihukumi di dunia, yang mana siksa
akhirat sungguh berat dan tak ada lagi ampunan.
Jika
dibayangkan untuk diterapkan mungkin akan sangat mengerikan. Mengingat pada
sistem sekarang ini untuk melakukan kemaksiatan begitu mudah dan pasti sudah
banyak orang yang akan terkena rajam, dera, qishash, potong tangan dan
hukuman-hukuman dalam islam lainnya. Untuk menerapkan islam tidak bisa hanya
menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Maka hukuman yang
bersifat jera itu bisa diaplikasikan jika diterapkannya islam secara sempurna
dalam segala aspek.
Ketika
islam diterapkan secara sempurna jangankan untuk diterapkannya hukum yang
menjerakan, sebelum kesana, bahkan masyarakat akan terjaga melakukan maksiat
dikarenakan diperhatikan pula aspek akidah yang membuat masyarakat enggan untuk
bermaksiat. Maka dari itu semua, solusi memberentas kemaksiatan secara total
adalah dengan penerapan islam secara sempurna.
Komentar
Posting Komentar